Senin, 31 Januari 2011

Aku Ingin Pergi.........

Di pusat pertokoan, Jakarta.
Aku kembali meratapi lintasan takdir yang kujalani. Rumit. Entah mengapa aku selalu tak mengerti jika aku merenunginya. Semakin lama semakin gelap. Aku putus asa.

Sunyi, lampu tengah telah dipadamkan. Aku berenang ke sana kemari mencari ikan yang mungkin dapat kuajak bicara.
“Mujair! Mujair!” teriakku memanggil Mujair yang akuariumnya berada di seberang akuriumku.
“Kau belum istirahat?”
“Belum. Kau mau menemaniku sampai pagi?”
“Maaf, aku sibuk. Banyak sisa-sisa makanan di sudut-sudut akuariumku, mungkin aku harus bekerja keras sekarang.”
Aku kembali diam. Diam yang mengantarkanku pada dua buah pilihan yang kelak akan mengantarkanku pada kebahagiaan atau pada kesesatan. Entahlah, aku lelah memikirkannya.



“Jang, siapin ember besar, Jang! Kita kuras akuariumnya sekarang!” Pagi-pagi, suara bang Salim sudah membuat ramai sekaligus senang ikan-ikan di akuarium. Tak elak lagi, bila bang Salim berniat menguras akuarium, aku tak dapat membayangkan bagaimana segar dan jernihnya akuariumku. Kukira teman-temanku pun sependapat.
Beberapa menit kemudian acara menguras akuarium pun dimulai. Bang Salim mulai memindahkan dan memisahkan ikan-ikan berdasarkan jenisnya dibantu oleh seorang pembantunya,Ujang. Jika tidak dipisahkan, aku tak dapat membayangkan bagaimana ikan-ikan itu satu sama lain akan saling menyerang. Kini, tibalah saatku di pindahkan, bang Salim sangat hati-hati bila memindahkanku.
“He… he… ini baru ikan gue! Louhan gue emang mantep! Lu benar-benar ikan keberuntungan gue!!” Bang Salim mengangkatku tepat di depan wajahnya. Sehingga terlihat jelas wajahnya yang sumringah. Aku hanya beristghfar. Bagaimana mungkin aku membawa keberuntungan sedangkan aku sendiri masih meminta rizki kepada-Nya?
Hal inilah yang selama ini menjadi beban sekaligus dilema yang tak bisa kuhindari. Dan itu berimbas, hingga sekarang dilema itu masih mengendap keras dalam ruang batinku.
“Subhanalloh…” Ujang memutar-mutar tubuhku.
“Ujang! Lepaskan!” Aku sudah tak tahan lagi, sedari tadi tubuhku terus menerus dipegang. Sampai lupa kalau aku masih di luar habitatku.
“Alhamdulillah…” Aku kembali bernapas lega.

Pekerjaan menguras ikan hanya memakan waktu dua jam. Memang bukan jumlah waktu yang sedikit tetapi itu jumlah waktu yang cukup untuk kios ikan milik bang Salim. Wuii!! Aku berteriak girang begitu aku memasuki akuariumku yang telah dikuras. Memang lain rasanya antara akuarium yang belum dan sudah dikuras. Aku menjadi lebih bersemangat bila akuariumku dikuras. Dan itu pun terjadi bukan padaku saja, kukira ikan-ikan yang lain begitu. Setengah jam kemudian, bang Salim mulai merapikan tokonya. Biasanya pada hari libur seperti sekarang banyak pengunjung yang datang. Entah membeli ikan, akuarium, atau pakan.
Aku berenang ke pinggir akuarium sambil menggosokkan badan ke rumput plastik yang disediakan bang Salim untukku.
“Assalamualaikum!” Seorang anak kecil memasuki toko bang Salim.
“Waalaikumussalam!”
“Bang, ada cacing buat Louhan, nggak?” Sepasang matanya yang jernih menatap bang Salim penuh harap.
“Cacing buat louhan?” Kening bang Salim berkerut.
“Sebentar! Gue liat dulu ke dalem!” Bang Salim masuk ke dalam. Sementara anak kecil itu melihat-lihat ikan-ikan. Setelah puas melihat ikan-ikan, pandangannya kini beralih pada akuariumku.
“Waah!!” Anak kecil itu terlihat amat mengagumiku dan itu terlihat dari mimiknya yang lucu.
“He! He!! Jangan deket-deket lo sama louhan gue! Itu ikan keberuntungan gue tau! Udah pergi sono! Cacingnya nggak ada, abis!!” Tiba-tiba saja bang Salim keluar dari dalam, mukanya merah padam. Anak kecil yang sedang melihatku, kaget. Matanya memandang bang Salim tajam. Setelah beberapa saat, ia pun pergi sambil mengayuh sepedanya.
Sekali lagi aku menyesal, sampai kapan aku menempuh kehidupan ini. Ketika aku tahun pertama telah kulalui bersama bang Salim, perilaku bang Salim terhadapku biasa saja, bahkan statusku hampir sama dengan ikan yang lainnya. Tapi semenjak aku memasuki tahun yang kedua, perilaku bang Salim berubah, jauh dari perilakunya yang dulu. Aku dipindahkan ke dalam akuarium khusus untukku sendiri. Dan yang lebih parah lagi dia mulai menyebut-nyebutku sebagai ikan keberuntungan.
“Permisi!” Kali ini lelaki bertampang Cina memasuki toko bang Salim.
“Silahkan masuk, Pak!” Bang Salim bersikap ramah. Lelaki itu masuk dan mulai melihat-lihat ikan. Pandangannya mendadak berhenti setelah melihatku.
“Louhan yang ini berapa harganya?” Ia bertanya sambil menunjukku.
“Ooo… kalau yang itu mahal, harganya hampir sepuluh juta!” Lelaki itu kaget. Keningnya sedikit berkerut.
“Terlalu mahal untuk louhan yang berbadan sedang seperti ini!”
“Oo… jangan dilihat badannya, Pak! Kalau dilihat dari badannya pasti harganya murah! Lihat tato yang ada di badannya sudah pasti mahal, karena tato yang seperti ini jarang sekali ditemukan.” Lelaki Cina itu merasa tak senang kalimatnya dibantah. Akhirnya ia keluar.


Aku segera melahap makanan yang di lempar oleh Ujang. Makanan kali ini tak seenak makanan kemarin dikarenakan kepalaku yang agak sedikit pening. Sehingga aku memutuskan untuk tidak bergerak terlalu banyak.
“Hmm… bagaimana kabarmu anak manis?” Bang Salim mengusap-usap kaca akuariumku. Aku memutuskan untuk berpaling. Aku tak senang bila bang Salim mengajakku bicara. Melinat mukanya saja aku sudah muak.
“Ya, udah kalo gak mau ngomong gak pa-pa, tapi lu harusl tahu sebentar lagi lu bakalan gue jual dengan harga tiga kali lipat dengan kemarin! Sebentar lagi orang nya bakal dateng!”
Aku kaget setengah mati. Tak menyangka kalau bang Salim akan tega menjualku dengan harga mahal dengan mengorbankan waktu.
Aku ikut dengan bang Salim kurang lebih sepuluh bulan lamanya. Kini waktu sepuluh bulan itu akan hilang begitu saja dan kalah oleh uang.
Sejak awal pun aku tak mau ikut dengan bang Salim, aku ingin bebas menyusuri mutiara hikmah-Nya dan menjadi makhluk yang beriman di sisi-Nya. Dan sekarang, bukannya aku menjadi makhuluk yang beriman tetapi menjadi makhluk yang di sembah, di dewakan, dan di agung-agungkan.
Perasaanku gelisah. Tak dapat menahan badai yang hendak manghantam benteng hatiku. Aku mulai berenang kesana kemari. Tidak mempedulikan kepalaku yang terus berdenyut. Dalam beberapa detik badanku mulai terhuyung, napasku sesak.
“Permisi!” Sayup-sayup masih bisa kudengar suara pelanggan bang Salim.
“Ooo… silahkan, Pak! Jadi mengambil ikannya?”
“…”
“…”
Percakapan selanjutnya tak dapat kudengar. Yang jelas aku ingin segera keluar dari tempat ini. Tempat ini begitu sesak. Sesak dengan orang yang selalu menyibukkan dirinya dengan harta. Aku ingin pergi ke tempat dimana aku bisa dihargai sebagai makhluk-Nya bukan sebagai mesin pemberi keberuntungan. Napasku mulai sesak. Pandanganku gelap. Hitam.
“Maaf, Pak! Ikannya mati… “
Hanya kalimat itu yang terakhir pergi meninggalkan ruang pendengaranku. Selebihnya aku sudah tak sadar. Yang jelas, aku ingin pergi!!!.





-msa-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar